Tuesday, December 18, 2012

Sungguh Asyik, Menikmati Siesta Sambil Mengudap Tapas


Fitria Rahmadianti - detikFood Jakarta - Memasuki ruangan ini, kita akan disambut oleh para penari flamenco. Musik Spanyol yang disetelpun seakan mengajak menari. Namun, bukan itu tujuan kami mampir ke Tapas Movida. Justru berpiring-piring mungil tapas-lah yang akan menemani obrolan sore ini.

Orang Spanyol akrab dengan tapas, yakni berbagai appetizer atau snack yang biasa disajikan sebagai teman mengobrol. Tapas biasanya disantap saat bersosialisasi di bar, untuk mengisi perut antara waktu pulang kerja dan waktu santap malam (pukul 21.00-23.00). Bisa juga disajikan di tengah hari saat akhir pekan, sebelum bersantap siang pada pukul 14.00-16.00 atau saat siesta, istirahat siang.

Kami mampir ke Tapas Movida saat jam makan siangnya orang Indonesia. Terletak di Cipete, Jakarta Selatan, halaman parkirnya yang tak begitu luas dipenuhi oleh mobil-mobil pribadi. Ternyata, restorannya juga hampir penuh dengan pengunjung lokal maupun ekspatriat. Untung masih tersisa satu tempat.

Daftar menunya yang panjang cukup membingungkan kami karena ditulis dalam Bahasa Spanyol. Meski terdapat penjelasan berbahasa Inggris di bawahnya, kami yang tak akrab dengan hidangan Spanyol maupun tapas tetap membutuhkan waktu lama untuk memesan.

Akhirnya, kami berhasil menentukan tujuh jenis hidangan untuk berdua. Sambil menunggu, kami melihat-lihat sekitar. Tampak sekelompok turis Jepang asyik mengobrol di meja panjang. Di bagian pojok, bule-bule berdiskusi. Pelanggan lokalpun ada. Belakangan, dua orang artis ternama juga turut bersantap di sana bersama keluarga.

Mereka duduk di sofa-sofa cokelat, berpijak di lantai keramik bermotif catur, dan sesekali bersandar ke dinding bata. Langit-langit kayu tak berpelitur mewakili nuansa pedesaan a la Spanyol yang ingin ditampilkan restoran ini.

Para penari flamenco tampak melenggokkan pinggul dan menyibakkan rok panjang mereka, meski hanya lewat foto dan lukisan yang tergantung di dinding pucat. Di pojok ujung, jersey Iker Casillas terpajang bersama syal bertuliskan 'F.C. Barcelona' dan 'Valencia C.F.'. Semua serba Spanyol.

Pesanan datang beberapa lama kemudian. Kami memulai dengan pinchos, appetizer berupa potongan roti bruschetta dan aneka topping dengan porsi individu. Pinchos biasanya diberi tusuk gigi (pincho) agar topping tak berjatuhan dari roti. Tusuk gigi ini juga berfungsi untuk menghitung berapa tapas yang dikudap pelanggan.

Topping untuk pinchos ensalada de verano (Rp 15.000) berupa irisan tomat, acar mentimun, telur rebus, paprika merah, dan buah zaitun hijau. Cocok sebagai camilan pembuka yang segar.

Sementara itu, montadito de solomillo (Rp 30.000) diberi beef tenderloin, keju brie, paprika hijau, zaitun hijau, dan parsley cincang. Daging sapi New Zealand grade A ini dimasak hingga medium well. Kelembutannya saling melengkapi dengan bruschetta bakar yang terasa renyah dan smoky.

Untuk pinchos seafood, ada brocheta de guacamole y gambas al ajillo (Rp 25.000). Tiga ekor udang kupas gendut 'duduk manis' di atas lapisan guacamole (alpukat lumat) serta diberi garnish irisan cabai dan cincangan parsley. Udangnya terasa agak kenyal dan juicy dengan aroma bawang putih yang halus. Guacamole yang lembut gurih terasa meresap ke dalam bruschetta yang tak dipanggang.

Tiga jenis raciones (camilan untuk dimakan bersama 2-3 orang) tersaji di meja kami. Semuanya berkuah, disajikan di mangkuk, dan masing-masing ditemani dengan tiga potong bruschetta. Albondigas (Rp 45.000) yang berupa lima buah bola daging dengan kuah cokelat dan taburan parsley cincang menarik perhatian kami.

Saat masuk ke mulut, bola dagingnya hancur dengan mudah. Teksturnya lembut, agak smoky karena dibakar, dan gurih enak karena kuahnya meresap. Kamipun mencocolkan bruschetta ke dalam kuah kentalnya. Wah... Aroma red wine dan bawang bombay yang terkaramelisasi bersatu lembut membuai lidah.

Kami bertemu lagi dengan si udang montok dalam gambas al ajillo (Rp 55.000). Kali ini, udang dimasak dalam kuah ajillo atau perpaduan minyak zaitun, white wine, dan bawang putih, kemudian ditaburi parsley cincang. Winenya tak terjejak, namun terasa nikmat gurih karena aroma bawang putih dan mentega.

Tak berbeda jauh, kami juga mencicipi champinones al ajillo (Rp 45.000). Di sini, hanya udangnya yang diganti dengan potongan jamur champignon dan sedikit irisan cabai, sehingga rasanya agak pedas asin. Enak juga jika dituangkan di atas bruschetta, sehingga kuahnya menyerap ke dalam roti dan disantap seperti pinchos.

Di akhir acara bersantap, kami memesan churros con chocolate (Rp 30.000). Lima buah churros diberi taburan gula halus dan diberi garnish stroberi di atasnya. Kami mencelupkannya ke saus cokelat dan menggigitnya. Tekstur churros-nya terasa renyah di luar dan chewy di dalam. Terjejak bubuk kayumanis di dalam adonannya. Sausnya yang kental rupanya dark chocolate leleh yang tak begitu manis untuk mengimbangi churros yang ditaburi gula.

Untuk membilas mulut, kami memesan saint (Rp 30.000) dan sangria (Rp 295.000/pitcher). Saint adalah mocktail dengan paduan brown sugar, jeruk nipis, daun mint, dan Sprite. Segar dan tak asam, cocok diminum di tengah cuaca panas. Sementara itu, sangria terbuat dari red wine, orange juice, simple syrup, serta air soda. Winenya terasa halus dan wangi. Karena ringan, minuman yang diberi potongan buah apel, jeruk sunkist, dan pir ini terasa menyegarkan.

Ternyata, kami salah karena telah meremehkan hidangan tapas yang mungil. Meski dihabiskan berdua, kami tetap merasa kekenyangan! Lidah kami yang Indonesiapun tak disangka cocok dengan citarasa asli Spanyol yang dibawa oleh Chef Manuel Verdaguer.

Kapan-kapan kami akan kembali ke sini lagi, pada akhir pekan di malam hari. Nanti, kami akan memilih area luar ruang, duduk di sofa-sofa semen berhiaskan mozaik dengan nuansa Mediterania. Sambil asyik mengobrol, tangan sibuk mengambili tapas lain yang tak kalah menarik!

(fit/odi) Install Aplikasi "Makan di Mana" GRATIS untuk smartphone Anda, di sini.

No comments:

Post a Comment