Monday, September 10, 2012

Bagaimana Rasanya Menjadi Chef di Antartika?


Fitria Rahmadianti - detikFood Jakarta - Menjadi chef tidaklah mudah. Seorang koki dituntut dapat memasak hidangan lezat dengan tampilan yang menggugah selera dalam waktu cepat. Apalagi jika Anda menjadi juru masak di Antartika seperti Antony Dubber.

Dubber dulunya merupakan kepala chef di perusahaan farmasi besar asal Inggris. Ia membuat canape untuk pesta cocktail serta sapi panggang dan Yorkshire pudding untuk santap siang di ruang rapat. "Membosankan dan itu-itu saja," kata Dubber seperti dikutip dari Daily Mail.

Suatu hari, pria berusia 35 tahun ini melihat lowongan kerja di majalah katering. Tertulis bahwa 'freezer di sini agak lebih besar dibanding yang biasa Anda pakai'. Kini, Dubber sudah bekerja selama tiga tahun di 'freezer'nya bumi, yakni Antartika.

Dubber bekerja sebagai chef di British Antarctic Survey yang berjarak 850 mil dari Kutub Selatan. Saking terpencilnya, saat musim dingin, pos penelitiannya terisolir dari dunia luar oleh es. Supermarket terdekat saja ada di Chili yang jauhnya 2.000 mil dari tempatnya berada.

Pria asal Hertfordshire, Inggris, ini menyajikan menu yang bervariasi. Ia mengusahakan banyak buah dan sayuran segar dalam hidangannya. "Saya harus memperhitungkan seberapa banyak makanan yang dibutuhkan pada musim salju. Pasalnya, kapal pengangkut makanan meninggalkan Antartika pada bulan Februari dan saya tidak bisa menjangkau supermarket terdekat," ujar Dubber.

Di tempatnya bekerja terdapat freezer besar dan lemari makanan untuk menyimpan makanan kering. Daging dibekukan, sayur dan buahpun sudah diakali agar tahan dari Februari hingga Agustus. Sayangnya, herba segar cepat membusuk.

"Saya juga merindukan tulang dalam hidangan daging. Menurut Antarctic Treaty, daging yang disajikan tidak boleh mengandung tulang. Pasalnya, sampah makanan dikubur dalam es dan tulang unggas bisa terinfeksi virus yang dapat membahayakan koloni penguin," Dubber bercerita.

Makanan favorit para pekerja di sana adalah Typhoo Tea, Heinz baked beans, Jaffa Cakes, Bovril, serta HP Sauce. "Mereka makan lima kali sehari karena dingin yang menggigit ini membuat kalori dalam tubuh cepat terbakar," kata Dubber. Selain itu, alkohol dibatasi dua kaleng bir per hari, plus champagne untuk ulang tahun dan liburan seperti Midwinter's Day pada 21 Juni.

Musim dingin di Antartika berlangsung pada akhir Februari hingga akhir Desember. "Sejauh ini, kami telah menjalani 100 hari dalam kegelapan total dan merasakan suhu -50 C. Jika angin bertiup, temperaturnya bisa turun hingga 20 C lagi. Saat keluar, meski sebentar saja, pastikan Anda telah memakai kacamata pelindung agar mata Anda tidak beku sambil menutup ketika berkedip," tutur Dubber.

Sementara itu, musim panas adalah waktu tersibuk bagi Dubber. Pasalnya, ada beberapa staf yang khusus bekerja pada musim panas, sehingga Dubber harus memasak untuk 90 orang. Ketika musim dingin dimulai, tinggal 14 orang yang tersisa, yakni ilmuwan, insinyur, dokter, dan staf pendukung. Sebagai chef, ia dibayar 30.000 poundsterling (Rp 459,7 juta) per tahun.

Lantas, apakah ia tidak merasa bosan tinggal di Antartika? "Yang saya rindukan hanyalah mandi. Di sini kami diizinkan mandi selama dua menit setiap harinya. Masalahnya, setiap tetesan air yang ada merupakan es cair," ujar Dubber.

Kecuali itu, ia jarang merasa jemu tinggal di benua paling selatan bumi. Sebagai hiburan, di markasnya ada gym, DVD, dan bilyar. Antartikapun tak selalu berwarna putih karena tertutup salju.

"Antartika itu luar biasa dan selalu berubah warna. Saya mencintai suhu dingin, salju, dan aurora yang mengagumkan. Langit malam terang oleh satelit dan bintang jatuh. Rasanya tak ada tempat seindah ini di belahan bumi lain," Dubber bercerita dengan bangga.

(fit/odi) Punya makanan favorit saat Ramadan & Lebaran? Ceritakan dengan menarik & lengkap di sini . Raih Grand Prize Mixer Kitchen Aid untuk cerita yang paling banyak di LIKE.

No comments:

Post a Comment